Lompat ke isi utama

Berita

Tenggang Waktu Penanganan Pelanggaran Pilkada Sebuah kendala Penegakan Hukum ?

Tenggang Waktu Penanganan Pelanggaran Pilkada Sebuah kendala Penegakan Hukum ?

Norma dan Kepastian Hukum 

Pemilihan Kepala Daerah diatur dalam UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang Juncto UU No 8 Tahun 2015 Tentang perubahan atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang Juncto UU No 10 Tahu 2016 Tentang Perubahan Kedua atas UU No 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang Juncto UU No 6 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.    ( UU Pilkada).

Ketentuan tenggang waktu penanganan pelanggaran dalam UU Pilkada diatur pada Pasal 134 Ayat (5) yang menyatakan “ Dalam hal laporan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) telah dikaji dan terbukti kebenarannya, Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL dan Pengawas TPS wajib menindaklanjuti laporan paling lama 3 (tiga) hari setelah laporan diterima”. Pasal 134 Ayat (6) menyatakan “Dalam hal diperlukan, Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL dan Pengawas TPS dapat meminta keterangan tambahan dari Pelapor dalam waktu paling lama 2 (dua) hari”. Jika ditinjau dari sisi norma, ketentuan waktu yang telah diatur dalam UU Pilkada terkait penanganan pelanggaran tentunya telah memiliki pengaturan tenggang waktu yang jelas sehingga sudah terdapat panduan hukum yang pasti dan tidak multitafsir, dengan demikian tentunya telah memenuhi standar kepastian hukum. 

Implementasi Norma

Adanya kepastian hukum khususnya dalam hal tenggang waktu penanganan pelanggaran Pilkada belum serta merta menjamin optimalisasi penegakan hukum dalam implementasinya, jangka waktu 3 hari + 2 hari yang ditentukan dalam UU Pilkada tersebut  terlalu singkat untuk sebuah proses penanganan pelanggaran. Berdasarkan ketentuan tersebut, proses pemeriksaan (kajian/klarifikasi) atas suatu dugaan pelanggaran untuk memeriksa semua pihak mulai dari Pelapor, Saksi, Terlapor dan bahkan Ahli hanya diberikan waktu selama 3 hari saja sebagaimana Pasal 134 Ayat (5), sedangkan tambahan waktu 2 hari sebagaimana Pasal 134 Ayat (6) itu hanya tambahan waktu yang bisa digunakan jika dalam proses pemeriksaan dibutuhkan keterangan tambahan dari Pelapor, dengan ditentukannya tambahan waktu 2 hari tersebut hanya untuk meminta keterangan tambahan dari Pelapor maka konsekuensinya tambahan waktu 2 hari tersebut tidak dapat digunakan untuk meminta keterangan atau keterangan tambahan dari Saksi, Terlapor atau Ahli, hal ini menjadikan tambahan waktu 2 hari tersebut praktis hampir tidak ada manfaatnya, mengingat dalam proses pemeriksaan sangat jarang membutuhkan keterangan tambahan dari pelapor, seorang pelapor biasanya pemeriksaannya dilakukan pertama kali dan satu kali saja keterangan dari pelapor biasanya sudah cukup memenuhi kebutuhan informasi atas suatu fakta peristiwa yang dia laporkan apalagi jika pelapornya bukan saksi fakta, justru sesungguhnya yang sangat penting dalam rangka untuk pengumpulan alat bukti itu dari keterangan Saksi, Terlapor dan Ahli, namun norma regulasi terkait tambahan waktu 2 hari tersebut tidak diperuntukkan untuk itu. Dari sini sesungguhnya dalam implementasinya terkait dengan norma tenggang waktu penanganan pelanggaran dalam Pilkada itu yang efektif hanya 3 hari saja, maka tantangan sekaligus pertanyaannya kemudian bagaimana proses penanganan pelanggaran Pilkada dapat dilakukan secara optimal dengan sangat pendeknya tenggang waktu tersebut. 

      Beberapa dinamika yang terjadi dari adanya tenggang waktu yang sangat pendek dalam penanganan pelanggaran Pilkada tersebut dapat dilihat setidaknya dari beberapa hal antara lain yaitu, Pertama, Keterbatasan dalam pengumpulan bukti. Dalam proses pemintaan keterangan kepada para pihak yaitu Pelapor, Saksi dan Terlapor tentunya diawali dengan mengirimkan surat undangan klarifikasi, penyampaian undangan klarifikasi yang secara patut setidaknya disampaikan kepada pihak yang diundang paling lambat satu hari sebelum hari pelaksanaan klarifikasi, jika surat undangan klarifikasi disampaikan pada hari dimana Laporan/Temuan dugaan pelanggaran diregistrasi maka pelaksanaan klarifikasi bisa dilaksanakan pada hari kesatu, namun jika pihak yang diundang klarifikasi tidak hadir pada undangan pertama maka undangan klarifikasi yang kedua sudah masuk di hari kedua, sehingga di hari pertama tentunya belum dapat di peroleh keterangan dari Pelapor maupun Saksi dan tinggal tersisa waktu 1 hari dari  ketersediaan waktu yang hanya 3 hari, sedangkan masih dibutuhkan waktu untuk meminta keterangan Terlapor dan Keterangan Ahli khususnya dalam dugaan tindak pidana pemilihan yang selalu dibutuhkan keterangan Ahli, yang mana permintaan keterangan Terlapor dan Ahli ini memang dilakukan belakangan setelah melihat fakta-fakta yang ada sebelumnya baik itu dari dokumen maupun keterangan Saksi. Semua proses permintaan keterangan kepada para pihak tersebut tentunya merupakan langkah yang harus dilakukan pada proses pemeriksaan dalam penanganan pelanggaran Pilkada untuk mengumpulkan alat bukti, mengingat terkait dengan alat bukti ini tetap mengacu pada KUHAP Pasal 184 Ayat (1) yang menyatakan “Alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan saksi, b.keterangan ahli, c.surat, d.petunjuk, e.keterangan terdakwa. Dalam situasi dan kondisi tersebut tentu bisa kita gambarkan betapa sulitnya mengatur waktu dalam tenggang waktu 3 hari itu, tentu merupakan kondisi yang bisa mempengaruhi kurang maksimalnya upaya pengumpulan bukti khususnya yang berasal dari keterangan Pelapor, Keterangan Saksi, keterangan Terlapor, maupun keterangan Ahli, sehingga sangat mungkin berpotensi mengakibatkan tidak dapat diperolehnya dua alat bukti yang cukup untuk dapat memenuhi unsur dugaan pelanggaran atas pasal yang akan diterapkan. Dalam proses penanganan dugaan tindak pidana pemilihan mungkin saja hal ini juga yang menjadi salah satu potensi adanya hasil pemeriksaan/kajian di Bawaslu yang tidak bisa memperoleh dua alat bukti yang cukup sehingga tidak dapat terpenuhinya unsur pasal yang akan diterapkan pada saat dilakukan pembahasan di sentra gakkumdu yang berakibat penanganan dugaan pelanggaran dihentikan. Kedua, Keterbatasan waktu dalam pembuatan kajian hukum. Pembuatan kajian hukum tentu memerlukan waktu yang cukup untuk dapat lebih teliti dan cermat dalam menganalisis fakta-fakta yang telah diperoleh dari hasil pemeriksaan/kajian, mengurai unsur-unsur pasal yang akan diterapkan berdasarkan fakta-fakta yang ada, sehingga dapat dituangkan dalam kajian hukum yang benar-benar tepat yang mengarah kepada suatu pembuktian apakah hasilnya terdapat cukup bukti serta terpenuhi unsur atau tidak. Tidak tersedianya waktu yang memadai juga dapat berpotensi mempengaruhi hasil kajian hukum yang dilakukan oleh orang yang membuatnya. Tidak menutup kemungkinan suatu dugaan pelanggaran berdasarkan fakta yang ada seharusnya memenuhi unsur pasal yang akan diterapkan namun karena kurang tepat dalam pembuatan kajian hukum yang mana salah satu sebabnya adalah karena ketersediaan waktu yang sangat pendek dan terburu-buru sesuai dengan ketentuan tenggang waktu penanganan pelanggaran dalam Pilkada sehingga hasil kajian hukumnya berbeda dan berakibat dugaan pelanggaran menjadi tidak dapat ditingkatkan ke tahapan lebih lanjut. Selain hal diatas tentunya masih ada konsekuensi lainnya dari pendeknya waktu penanganan pelanggaran dalam Pilkada.

Upaya dan Harapan

Waktu penanganan pelanggaran Pilkada yang pendek tak dapat dipungkiri merupakan suatu kondisi yang kurang mendukung dalam implementasi proses penanganan pelanggaran, namun ketentuan waktu yang sudah diatur dalam UU Pilkada tersebut tentu saja merupakan dasar legalitas yang wajib dipatuhi, sehingga dalam melakukan proses penanganan pelanggaran Pilkada tidak bisa keluar dari ketentuan tenggang waktu yang telah diatur dalam UU Pilkada tersebut, oleh karena itu agar tetap dapat bekerja secara optimal dalam proses penanganan pelanggaran Pilkada diperlukan banyak hal yang bisa menjadi faktor pendukung, antara lain a).peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia, di jajaran Bawaslu berkenaan dengan kemampuan teknis dalam penanganan pelanggaran, misalnya dalam hal kemampuan teknis mendapatkan barang bukti, teknis klarifikasi, teknis pembuatan kajian hukum. b). Strategi pemeriksaan/klarifikasi, berkaitan dengan cara mengelola waktu untuk permintaan keterangan/klarifikasi terhadap para pihak, cara mendatangi para pihak untuk dapat dimintai klarifikasi ditempat jika saat diundang klarifikasi di kantor Bawaslu tidak hadir, termasuk bagaimana cara mensiasati faktor lainnya yang sifatnya non teknis seperti faktor alam yang berkaitan dengan cuaca maupun geografis mengingat pendeknya waktu yang tersedia sehingga kondisi alam tertentu dapat menjadi faktor yang mempengaruhi efektivitas waktu penanganan pelanggaran.

Penegakan hukum yang berkeadilan dalam Pemilu dan Pilkada merupakan sebuah keharusan dalam rangka mewujudkan Pemilu dan Pilkada yang demokratis, meskipun antara Pemilu dan Pilkada adalah dua hal yang berbeda, namun tentunya secara prinsip penegakan hukum haruslah sama, sehingga desain regulasi yang terkait dengan norma-norma yang mengatur untuk penegakan hukum harus memberikan ruang yang sama untuk tercapainya proses penegakan hukum yang optimal antara Pemilu dan Pilkada, termasuk dalam hal ketentuan mengenai tenggang waktu penanganan pelanggaran yang mana dalam regulasi yang berlaku saat ini masih terdapat perbedaan. Dalam UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum diatur ketentuan waktu penanganan pelanggaran selama 7 hari dan ditambah 7 hari lagi jika diperlukan keterangan tambahan (catatan: keterangan tambahan dari semua pihak tidak hanya dari pelapor), sehingga waktu penanganan pelanggaran paling lama 14 hari sebagaimana Pasal 454 Ayat (7) dan Ayat (8). Ketentuan dalam UU Pemilu tersebut memberikan tenggang waktu yang lebih longgar sehingga lebih memberikan ruang waktu yang memadai untuk dapat tercapainya upaya penanganan pelanggaran yang lebih optimal dibanding dengan UU Pilkada, harapan kedepan tentunya akan ada perubahan khususnya terkait dengan ketentuan tenggang waktu penanganan pelanggaran Pilkada setidaknya sama dengan ketentuan waktu penanganan pelanggaran dalam Pemilu.